LIPUTANFLORES.COM|JAKARTA, – Sebagai negara kepulauan terbesar dengan luas wilayah laut mencapai ± 5,8 juta km², Indonesia membutuhkan sistem pertahanan maritim yang efisien.
Namun, karakteristik geografis seperti perairan dangkal dan alur pelayaran sempit menjadi tantangan bagi pengoperasian kapal induk konvensional.
Captain Hakeng Jayawibawa dari IKAL SC menegaskan bahwa kapal induk bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga alat strategis dalam menjaga kedaulatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Namun, Indonesia tidak membutuhkan kapal induk pesawat tempur seperti milik AS atau China. Kapal induk helikopter atau drone jauh lebih efektif,” ungkapnya.
Indonesia menghadapi ancaman di jalur strategis Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Untuk itu, kapal induk harus mampu beradaptasi dengan kondisi wilayah.
Sebagai contoh, Iran telah mengembangkan kapal induk drone yang lebih hemat biaya dan fleksibel.
“Dibandingkan dengan kapal induk USS Gerald Ford yang berharga Rp 210 triliun, kapal induk helikopter dengan harga sekitar Rp 15,9 triliun lebih realistis untuk Indonesia,” tambah Captain Hakeng.
Solusi terbaik bagi Indonesia adalah kapal induk berbasis drone dan otonom dengan tonase 20.000 – 30.000 ton.
Keunggulannya meliputi:
Operasi Fleksibel – Tidak membutuhkan landasan pacu besar.
Efisiensi Biaya – Biaya operasional lebih rendah dibandingkan kapal induk konvensional.
Adaptasi Geografis – Mampu beroperasi di perairan dangkal dan sempit.
Pengembangan kapal induk otonom tidak hanya meningkatkan pertahanan, tetapi juga memperkuat industri maritim nasional.
“Kita harus menggandeng galangan kapal lokal dan industri pertahanan untuk membangun kapal ini secara mandiri,” tegas Captain Hakeng.
Indonesia membutuhkan kapal induk otonom yang modern, fleksibel, dan sesuai dengan kondisi geografisnya.
Dengan mengadopsi teknologi drone, Indonesia dapat memperkuat pertahanan maritim secara efektif dan efisien.