LIPUTANFLORES.COM|SIKKA, – Ada dua produk hukum yang menjadi landasan utama PT. Krisrama mendapatkan HGU seluas 325.682 hektar di Desa Nangahale Kecamatan Talibura dan Desa Runut Kecamatan Waigete, yakni: SK Kakanwil BPN – NTT No: 1/HGU/BPN.53/VII/2023 dan 10 Persil Sertifikat HGU No. 4 s/d 13 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Sikka.
SK – HGU dari Kakanwil BPN NTT tersebut di atas merupakan landasan hukum utama terbitnya 10 persil sertifikat No 4 s/d 13 HGU. Jadi tanpa SK – HGU itu. Sertifikat HGU tidak dapat diterbitkan. SK HGU adalah produk hukum yg memberi ijin sementara sertifikat adalah bukti ijin tersebut telah didaftarkan.
Hal ini ditegaskan kuasa hukum masyarakat adat suku soge Natarmage dan suku goban Runut, Antonius Johanis Bala SH, kepada liputanflores.com melalui sambungan telepon, kamis 23 Januari 2025
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Johanis Bala menjelaskan, berkaitan dengan penggusuran yang terjadi kemarin di Wairhek, Utanwair dan Pedan, menurut kami adalah tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum karena dalam SK HGU yang menjadi landasan hukum keluarnya sertifikat HGU tersebut tidak dikenal mekanisme penyelesaian permasalahan dengan cara pembersihan lahan.
Hal ini terjadi hanya karena adanya sikap congkak dan tidak cermatnya Para Kuasa hukum PT. Krisrama dalam membaca peraturan khusus tentang HGU tersebut.
Dan lebih celaka lagi dua Klerus (Imam Katolik) sebagai pelaku lapangan-pun (RD. Epi Rimo dan RD. Yan Faroka) pun nihil kemanusiaan.
Akibatnya begini sudah umat menjadi korban dari amukan alat berat para gembalanya sendiri.
Katanya, menurut Diktum KEENAM SK – HGU tersebut, bahwa: “Apabila di atas bidang tanah yang diberikan HGU terdapat keberatan, permasalahan, penguasaan dan/atau kepemilikan pihak lain yang timbul dikemudian hari maka Penerima Hak wajib menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang Undangan”
Jadi kalau PT. Krisrama beralasan bahwa, telah mengumumkan di Mimbar Gereja. Lalu ada Pengumaman di lokasi HGU oleh PJ. Bupati Sikka dan Kuasa Hukum PT. Krisrama telah melakukan somasi 2 kali, tapi masyarakat tetap tidak mau keluar dari tanah yang telah ditempati, maka tetap solusi yang tepat bukanlah land clearing.
Untuk situasi seperti ini. Setelah semuanya terjadi, namun masyarakat tetap tidak mau keluar dari lokasi, maka PT. Krisrama harus memandang ini sebagai fakta terdapatnya keberatan, permasalahan, penguasaan dan/atau pemilikan pihak lain (dalam hal ini masyarakat).
Selanjutnya menurut Diktum KEENAM ini, PT. Krisrama sebagai Penerima Hak “WAJIB” menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satunya, PT. Krisrama harus gugat warga tersebut ke pengadilan
Di sini tidak ada perintah sama sekali agar PT. Krisrama segera melakukan pembersihan lahan karena sudah mengantongi Sertifikat HGU dan sudah mengumumkan tapi masyarakat tidak mau keluar. Ini sesat pikir publik mayoritas.
Demikian pula dalam SK HGU ini tidak disaratkan secara eksplisit bahwa yang berkeberatan itu harus mempunyai alas hak yang sah.
Tapi disediakan ruang pembuktian melalui mekanisme penyelesaian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud.
Hemat saya land clearing baru boleh dilakukan oleh PT. Krisrama apabila telah menempuh jalur penyelesaian permasalahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan telah mengantongi keputusan hakim yang berkekuatan tetap.
Namun saya pun paham mengapa PT. Krisrama demikan berani melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum dan tidak manusiawi ini karena menggunakan nama “PT. Kristus Raja Maumere” sehingga tidak mungkin salah dan karena itu mendapat dukungan besar dari Umat Katolik yang permisif.
PT. Kristus Raja Maumere juga adalah milik Keuskupan Maumere, memiliki posisi sosial yang mentereng dikalangan elit lokal sehingga mampu meyakinkan mengkonsolidasi pemerintah Daerah, polisi dan militer untuk diam dan membiarkan kekerasan berlangsung secara murni dan konsekuen di depan mata mareka.
Akhirnya, saya atas nama pribadi, AMAN dan PPMAN menyatakan dengan tegas tetap bersama warga korban penggusuran. Selanjutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan menempuh proses hukum pidana maupun perdata.
Dengan adannya peristiwa ini, maka harapan untuk dialog dengan PT. Krisrama dan Keuskupan telah pupus dan berakhir. Selanjut kami akan menerima kenyataan untuk menyelesaikan melalui proses hukum litigasi.